oleh: Intan Sari
![]() |
Nine Dash Line yang diklaim secara sepihak oleh Tiongkok Sumber: googleimage |
Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan atau sekarang lebih dikenal dengan Laut Natuna Utara terus terjadi secara berkesinambungan. Konflik ini bermula sejak Tiongkok mengklaim bahwa terdapat nine dash line (sembilan garis putus-putus) yang dianggap sebagai batas wilayah yang menandai bagian teritorialnya, garis tersebut dapat dilihat pada peta yang dibuat oleh Tiongkok pada Tahun 1947 tepatnya setelah Perang Dunia II. Pasalnya batas tersebut hampir mencakup 80-90% dari keseluruhan luas Laut Natuna Utara. Hal ini menyebabkan Tiongkok mereka berhak mengeksploitasi dan menguasai sumber daya yang melimpah di Laut Natuna Utara. Sumber daya itu diperkirakan terdiri atas hampir 3,6 miliar barel minyak bumi dan cairan lainnya, serta 40,3 triliun kaki kubik gas alam. Tidak heran Laut Natuna Utara menjadi wilayah yang terus diperebutkan. Apalagi Laut Natuna Utara merupakan jalur lalu lintas kapal niaga dan militer, 60% perdagangan dunia, dan hampir 50% energi dunia melewati wilayah tersebut. Dengan kata lain, menguasai Laut Natuna Utara artinya juga menguasai dunia.
Pergerakan Tiongkok atas kepemilikan Laut Natuna Utara sudah tampak semakin jelas. Hal ini ditandai dengan adanya serangkaian pulau-pulau buatan yang menampung sejumlah pangkalan militer Tiongkok dan aktivitas unilateral di kepulauan Spratly dan Paracel.
Klaim sepihak Cina atas Laut Natuna Utara tentu saja menimbulkan ketegangan di beberapa negara sekitarnya karena klaim tersebut dianggap tidak berdasar dan bertentangan dengan Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau dikenal dengan istilah UNCLOS 1982 di bawah konvensi PBB. Padahal, UNCLOS sudah disetujui oleh 119 negara termasuk Tiongkok. Menurut UNCLOS, suatu negara memiliki kedaulatan atas daratan dan laut teritorial sepanjang 12 mil, selanjutnya memiliki hak berdaulat atas zona tambahan sejauh 24 mil, ZEE 200 mil laut, dan landas kontinen. Artinya suatu negara boleh memanfaatkan kekayaan alam di wilayah yang sudah menjadi hak berdaulat tersebut. Sementara itu, klaim sepihak Cina membuat wilayah yang sudah ditentukan oleh UNCLOS menjadi saling beririsan dengan beberapa negara seperti Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Indonesia pada perairan Natuna.
Perairan Natuna merupakan wilayah yang masuk ke dalam ZEE Indonesia (UNCLOS). Namun, klaim Tiongkok atas kepemilikan wilayah tersebut menyebabkan perseteruan yang belum menemukan titik terang. Konflik tersebut menyebabkan dampak yang signifikan terhadap keamanan dan stabilitas negara Indonesia bahkan negara di wilayah Asia Tenggara. Hal ini terbukti dengan kasus yang terjadi di lapangan. Nelayan Indonesia mengaku beberapa kali bertemu dengan kapal nelayan asing termasuk kapal nelayan Tiongkok yang sedang berlayar di Laut Natuna sembari dikawal oleh kapal Coast Guard Tiongkok dan ternyata juga dikawal oleh kapal militer Tiongkok beberapa mil dibelakangnya. Beberapa Nelayan Indonesia juga mengaku pernah diusir oleh kapal Coast Guard Tiongkok padahal mereka masih berada di kawasan perairan Indonesia. Yang menjadi kekhawatiran lainnya adalah kapal-kapal nelayan asing tersebut bisa saja merupakan bagian dari operasi intelijen.
Pada tahun 2019, Coast Guard Indonesia memperingatkan nelayan Tiongkok untuk segera meninggalkan perairan Indonesia namun dibantah oleh Coast Guard Tiongkok dengan dalih bahwa mereka masih berada di kawasan kepemilikan Tiongkok. Pada tahun yang sama, Tiongkok protes dengan menuntut Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran gas alam dan minyak atas dasar klaim wilayah sebelumnya. Bahkan, pada tahun 2024, pada peta terbitan Tiongkok terlihat bahwa dash line yang awalnya merupakan 9 garis putus-putus menjadi 10. Hal ini mengakibatkan Taiwan juga masuk ke dalam wilayah teritorial Tiongkok.
Kejadian perairan Natuna tentu sangat mengkhawatirkan karena bisa saja muncul konflik serius sehingga mengakibatkan perpecahan yang berdampak pada keamanan dan stabilitas internasional. Kita tentu tidak mau ini berlanjut dan membuat konflik besar dengan Tiongkok, pasalnya Indonesia memiliki hubungan ekonomi yang dekat dengan Tiongkok.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah konflik ini diantaranya melakukan diplomasi pertahanan dengan beberapa negara seperti Jepang, Australia, dan Amerika serikat, memperkuat militer TNI AL dan AU dengan mendirikan pangkalan militer di kepulauan Natuna, dan melakukan arbitrase atau mediasi internasional. Pada tahun 2020, Presiden Jokowi mendatangi Natuna sebagai bentuk peringatan keras agar kapal Tiongkok mundur dari Laut Natuna Utara. Presiden Jokowi juga kembali mendaftarkan perairan Natuna sebagai wilayah kedaulatan Indonesia kepada PBB.
Walaupun berbagai upaya dilakukan, namun negara tetap harus siap dan waspada akan dampak terburuk dari konflik sehingga perlu dilakukan antisipasi lanjutan. Oleh karena itu, perlunya perencanaan secara terstruktur dan matang. Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan diantaranya tindakan secara persuasif, diplomatik, militer, hukum, dan sebagainya. Bahkan bisa dengan memanfaatkan media sosial yang merupakan salah satu senjata ampuh pada abad 21 ini.
Adapun beberapa langkah yang dapat terus ditindaklanjuti diantaranya; Pertama, pemerintah memanggil kembali dubes Tiongkok di Jakarta secara berkala untuk menemukan solusi atas klaim sepihak Tiongkok; Kedua, Indonesia tetap mengikuti hukum UNCLOS yang sudah disepakati dan secara berkala mendaftarkan kembali hak atas perairan Natuna ke PBB; Ketiga, mempertahankan solidaritas bersama anggota ASEAN sehingga nantinya bisa berhadapan secara kolektif dengan Tiongkok; Keempat, memperkuat pangkalan militer dan meningkatkan kepaduan antar pangkalan, di daratan dan di udara, sehingga pengawalan dan patroli di perairan nusantara dapat dijalankan secara maksimal; Kelima, sebanyak mungkin Indonesia menjalin kerjasama dengan negara-negara di dunia agar bisa menjadi negara yang dekat secara bilateral, regional, dan global. Hal ini bisa dilanjutkan dengan mengundang investor untuk mendukung pembangunan nasional Indonesia, sehinggasecara tidak langsung akan memperkuat keamanan Indonesia; Keenam, menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan mitra yang taat Hukum Internasional, hal ini dibuktikan dengan good governance; Ketujuh, mempertahankan dan meningkatkan kemandirian dari segi ekonomi agar tidak lagi terikat dengan Tiongkok; Kedelapan, meramaikan aktivitas di perairan Natuna dengan cara menggalakan dan mendukung nelayan untuk berlayar lebih luas dari jalur tradisional, sehingga nelayan dapat aktif beraktivitas di Perairan Natuna, tentu dengan didampingi oleh Coast Guard Indonesia yang mengawal secara bergiliran. Tidak hanya itu, kita juga dapat menghidupkan Laut Natuna sebagai jalur pelayaran kapal-kapal mewah dan mengadakan festival kapal laut internasional di Laut Natuna Utara; Kesembilan, menghimbau masyarakat untuk sadar akan dampak dari konflik natuna sehingga masyarakat mau berkontribusi dengan cara memanfaatkan media sosial sebagai ajang memperkenalkan Natuna sebagai wilayah kedaulatan Indonesia. Tidak hanya itu, masyarakat juga dapat andil untuk memberikan ide dan perhatian secara berkelanjutan; Terakhir, yang terpenting adanya sinergi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat sebagai satu kesatuan.
Hal-hal tersebut di atas tentu memiliki tantangan tersendiri. Misalnya keterbatasan gerakan Komando Armada TNI AL untuk mengawal laut nusantara karena ekonomi negara yang tidak sehat, adanya kekhawatiran kalau Tiongkok melakukan tindakan diluar hukum internasional, dan lain sebagainya. Pada intinya kita lebih menginginkan tindakan pencegahan dilakukan secara soft power dibandingkan dengan hard power.
Konflik Laut Natuna Utara menjadi tantangan dan kesempatan tersendiri untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu sinergi dan perhatian dari seluruh rakyat Indonesia sangat berdampak pada nasib Natuna. Kita berharap perairan Natuna yang memang merupakan daerah kedaulatan Indonesia tetap dapat terus dipertahankan.